Seribu satu
pelajaran membentang mengiringi perjalanan Ramadhan. Sejuta hikmah
bertebaranmenemani hamba-hamba Allah yangtetap bersemangat memburu pahala ada
pelajaran besar yang jelas terlihat. Tapi tidak sedikit yang terasa kecil,
padahal begitu berarti. Diantara yang terasa kecil tetapi begitu berarti adalah
memberi.
Memang,
memberi tidak semudah yang dibayangkan. Sulit tidak semua orang mampu
melakukann itu. Harus ada perubahan-perubahan diri agar memberi bukan suatu
yang memberatkan. Apalagi menyusahkan.
Setidaknya ada
tiga penyakit diri yang sulit berkompromi dengan memberi. Pertama, sifat kikir.
Penyakit ini tergolong kronis karena sangat berhubungan dengan keimanan
seseorang. Ia seolah tidak mengakui semua yang dimiliki Cuma titipan. Bukan
milik pribadi buat selamanya. Suatu saat, ia akan berpisah dengan yang ia
miliki buat selamanya. Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda yang artinya :”
tidak akan berkumpul dalam hati seorang hamba kekikiran dan keimanan”(HR.
Athayalisi)
Kehancuran
umat sebelum Rasulullah SAW adalah karena sifat kikir mereka. Sulit
membayangkan suatu persatuan, kesertaan, dan kebersamaan tanpa bersih dari
kikir; kikir harta, ilmu, perhatian, pengayoman, penghormatan, dan lain-lain.
Rasulullah SAW
bersabda, yang artinya :” jauhilah kekikiran. Sesungguhnya kekikiran itu telah
membinasakan (umat-umat) sebelum kamu” (HR. Muslim)
Penyakit
kedua, adanya sifat sombong. Sifat ini punya dua arah keburukan; menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain. Bagaimana mungkin seorang bisa tergerak untuk memberi kalau ia tidak
peduli dengan urusan saudara-saudaranya seiman. Dan sulit mengharapkan sebuah
kepedulian kepada orang yang menganggap rendah orang lain.
Rasulullah SAW
bersabda yang artinya :” ada tiga perkara yang membinasakan. Yaitu, hawa nafsu
yang dituruti, kekikiran yang dipatuhi, dan seorang yang membanggakan dirinya
sendiri” (HR. Athbrani dari Anas).
Penyakit ketiga, cinta dunia. Kata cinta tidak akan
muncul sebelum interaksi yang terus menerus dengan yang dicintai. Inilah
bahayanya tujuan Allah berupa kemudahan rezeki orang menjadi begitu mudah
menuruti hawa nafsu kelak, nafsulah yang mengendalikan pemiliknya. Ketika nafsu
menjadi penguasa, yang ada hanya pemburuan kenikmatan. Apapun dilakukan demi
kepuasan hidup.
Bayangkan,
orang yang haus kepuasan dunia seperti itu tidak bisa diharapkan memberi sekali
lagi sulit. Maha benar Allah dalam firmannya. Yang artinya:” sesungguhnya Allah
memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh kedalam surge
yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.dan
orang-orang yang kafir itu bersenang (di dunia) dan mereka makan seperti
makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka”(QS. 47
Muhammad 12)
Dalam
timbangan islam, memberi bukan sekedar memberi sesuatu untuk orang lain. Lebih
dari itu. Islam mengajarkan memberi dengan sesuatu yang terbaik, bukan
sekadarnya. Allah berfirman, yang artinya :” kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya” (QS.3 Ali Imran 92).
Seorang
sahabat Rasulullah, Thalhah, pernah memberi contoh ketika akan menjamu tamu
Rasulullah SAW di rumahnya. Padahal, ia dan keluarga tak punya apa-apa kecuali
dua porsi makanan yang direncanakan untuk ia, isteri dan anak-anak.
Thalhah tak
kehilangan akal. Ia siapkan sebuah rencana bersama isterinya ketika makan buat
tamu terhidangkan, lampu dimatikan. Sang tamu tidak tahu kalau Cuma dirinya
yang makan. Sementara tuan rumah tidak.
Paginya,
Thalhah menghadap Rasulullah. Rasulullah mengatakan kalau ada ayat turun
semalam berkenaan dengan Thalhah. Saat itulah, sang tamu tersadar kalau Cuma
dirinya yang makan semalam.
Ramadhan
memberikan banyak makna, bahwa hidup tak selalu menerima. Akan selalu ada
kelebihan yang patut disyukuri. Dan memberi adalah salah satu wujud syukur
seorang hamba kepada Penciptanya. Dengan ramadhan kita kikis segala sifat yang
akan menyumbat diterimanya segala amal ibadah kita.
0 komentar:
Posting Komentar